Zondvloed in Batavia

Event lima tahunan, apa yang terbayang jika kita mendengar kata ini, Pemilu? Sidang Umum MPR? Rencana Pembangunan Lima Tahun? Pilkada? Di Jakarta ada sebuah event yang mengalahkan semua event tersebut, bagaimana tidak event lima tahunan ini menyita perhatian semua pihak, bahkan sampai membuat sekolah-sekolah diliburkan, pegawai-pegawai kantor mengajukan cuti, transportasi bahkan musti dinon-aktifkan. Dan yang turun tangan untuk meng-handle event ini bukannya cuma gubernur bahkan Presiden musti turun tangan, sampai diadakan sidang kabinet terbatas untuk membahas masalah ini. Perhatian pers juga gak tanggung2, hampir selama seminggu lamanya, semua suratkabar headline-nya memuat berita event ini, tak ketinggalan radio, bahkan televisi menghadirkan program breaking news untuk melaporkan berita mengenai jalannya event ini. Ya memang Banjir Besar Ibukota Jakarta adalah event lima tahunan yang tidak diharapkan oleh semua pihak, tapi tetap saja usaha mengatasinya belum terlalu serius dari dulu.

Banjir kali ini bisa dikatakan cukup dahsyat hampir semua wilayah di Jakarta terkena banjir, bukan hanya Jakarta saja, tapi juga daerah-daerah penyangganya yaitu Tangerang dan Bekasi. Mungkin banyak yang berpikir Pemerintah khususnya Pemerintah DKI Jakarta gak pernah belajar dari apa yang pernah terjadi dan dialami. Kesannya masa bodoh dan menganggap remeh mengenai bencana banjir yang hampir setiap tahun terjadi, dan tiap lima tahun banjir besar. Yah disini saya gak mau ikut-ikutan maki-maki, cuma mau ikut sumbang wacana aja.

Jakarta, Betawi, Batavia, or anything you called this city, dari dulu memang rawan banjir. Tahun 1900-an Pemerintah Hindia Belanda sudah merasa perlu membenahi sistem drainase kota Batavia, disebabkan terjadi banjir besar kala itu. Rencananya akan dibuat tiga buah banjir Kanal, yaitu Banjir Kanal Barat, Banjir Kanal Tengah, dan Banjir Kanal Timur. Ditambah beberapa buah waduk, diantaranya Waduk Melati, Waduk Pluit, Waduk Tebet, Waduk Surabaya, apalagi ya (waduh lupa, referensinya juga ilang nih). Selain itu mereka juga akan tetap melestarikan resapan-resapan air seperti rawa-rawa yang ada di Jakarta.

Tapi Belanda keburu pergi dan proyek pun terbengkalai mandek di tengah jalan. Pemerintah Indonesia sepertinya belum memandang penting masalah ini, ya maklumlah, dulu kan lagi jaman revolusi. Baru pada tahun 1965, setelah terjadi banjir di Jakarta, Presiden Sukarno mengeluarkan instruksi presiden untuk melanjutkan proyek kolonial itu, pada waktu itu yang dibangun dulu adalah Banjir Kanal Tengah, yaitu saluran untuk mengalirkan sungai-sungai yang mengalir di daerah tengah kota Jakarta (e.g. Ciliwung). Tapi lagi-lagi pergantian penguasa membuat proyek tidak rampung2, cuma Banjir Kanal Tengah yang selesai.

Masa Orde baru, hampir tidak ada sesuatu yang baru, walaupun di sekita kali-kali di Jakarta banyak bangunan-bangunan baru dari mulai gedung perkantoran, mal-mal, sampai rumah-rumah kumuh. Rencana untuk mengatasi banjir tetap ada, tapi kacau rencana Belanda yang mau buatt iga Banjir Kanal, dikorting jadi cuma dua, Banjir Kanal Barat dilikuidasi lalu Banir Kanal Tengah yang sudah jadi diganti namanya jadi Banjir Kanal Barat, entah mengapa.

Orde baru pun tewas, tapi pergantian pemimpin tetap saja tidak membuat warga Jakarta bebas dari banjir, bahkan pada tahun 2002 terjadi banjir paling parah dalam sejarah. 30% wilayah Jakarta tergenang. Seolah tak mau belajar dari pengalaman, tahun 2007 kembali terulang, banjir semakin pintar kali ini 60%, berarti dalam waktu 5 tahun banjir bisa meningkatkan kemampuan meluapnya menjadi 100%. Benar-benar hebat.

Mungkin sekarang saatnya kita sama-sama berpikir supaya bagaimana caranya kota kita ini bebas dari banjir. Event pertama yg mungkin bisa menuju ke arah sana adalah Pilkada Jakarta 2007. Gampang aja kita pilih calon gubernur yang punya solusi untuk menyelesaikan dua masalah utama Jakarta, yaitu banjir dan macet, Bagaimana?

0 comments:

Post a Comment